Copyrighted 2022 by DPD IPeKB Jatim. All rights reserved

IPeKB JATIM Kerja Cerdas Sejahtera

Semua Artikel

      Sri Rahayu, Kader PPKBD - TPK Desa Tajinan, Kecamatan Tajinan

Tak Gentar Meski Terbiasa Mendapatkan Penolakan

 Sering mendapat penolakan dari warga ketika melaksanakan pendampingan, tak lantas membuat Sri Rahayu menyerah begitu saja. Ia terus mengedukasi warga di Desa Tajinan terutama para ibu-ibu untuk mencegah terjadinya stunting. Ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat ibu-ibu rajin datang ke posyandu. Sebab, ketika para kader mengisi KMS (Kartu Menuju Sehat) milik balita, secara tidak langsung Sri Rahayu juga mengisi KMS-nya sendiri; Kartu Menuju Surga.

        Pada siang yang terik (10/6), Aci-sapaan akrab Sri Rahayu baru saja selesai melakukan pendampingan kepada ibu hamil yang berisiko stunting. Wajahnya tampak semringah karena mendapat kabar bahwa kondisi ibu hamil yang didampinginya lebih sehat dibandingkan saat pendampingan yang pertama. Aci adalah seorang kader PPKBD (Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa) yang juga tergabung dalam TPK (Tim Pendamping Keluarga). Sebagai anggota TPK, kehadiran Aci adalah ujung tombak dalam pencegahan stunting.

        Aci memiliki tugas untuk mendampingi calon pengantin, ibu hamil, ibu pasca salin dan baduta (bayi di bawah 2 tahun) dengan cara mendata sasaran, memberi penyuluhan kesehatan, merujuk ke faskes jika ada sasaran yang berisiko serta merujuk sasaran yang layak mendapatkan bantuan sosial. Aci menjadi kader PPKBD sejak tahun 2015. Sementara ketika BKKBN membentuk TPK di tahun 2022, Aci juga langsung tergabung di dalamnya.

         Namun, menjadi kader PPKBD maupun TPK bukanlah hal yang mudah. Meski di mata banyak orang, tugas Aci terlihat mudah; mengunjungi rumah sasaran dan memberi edukasi untuk mencegah stunting.

        Aci mengaku, dirinya sering mendapatkan penolakan. “Ditolak, diketusin warga sudah jadi hal biasa. Tapi saya dan tim TPK lainnya juga tidak bisa diam saja melihat hal ini,” ungkap wanita 42 tahun itu.

Sambil membereskan segala printilan TPK, dia menceritakan pengalamannya saat pendampingan. Suatu hari ia pernah mendampingi ibu hamil berusia 39 tahun. Usia tersebut tergolong berisiko tinggi. Karena itulah, Aci mengarahkan ibu hamil tersebut untuk mengikuti kelas bumil (ibu hamil).

      Di kelas tersebut, ibu hamil mendapatkan berbagai pemeriksaan kesehatan, juga ilmu untuk menjaga kesehatan ibu dan janinnya. Meski tujuannya baik, si ibu rupanya sempat menolak diajak ke kelas bumil. Dia bahkan menganggap kelas bumil itu tidak penting.

 “Lapo seh kunjungan wong cuma gitu aja tok, semua orang kan ya boleh hamil,” kata Aci menirukan ucapan ibu hamil yang didampinginya. Bahkan, meski Aci sudah menjelaskan soal tingginya risiko kehamilan bagi ibu yang berusia di atas 35 tahun, penolakan itu masih muncul. Si ibu hamil berdalih kalau dia tidak terbiasa menceritakan masalahnya pada orang lain yang notabene bukan sanak famili. Tapi, Aci tidak mau menyerah. Bulan berikutnya, Aci kembali mendatangi ibu hamil itu. Setelah dibujuk, si ibu hamil akhirnya mau ikut kelas bumil. “Setelah ikut kelas ibu hamil dia pun merasakan manfaatnya. Ternyata selama ini dia merasa minder, menganggap kelas ibu hamil hanya untuk ibu muda dan orang kaya saja. Padahal tidak seperti itu,” kata wanita kelahiran Malang tersebut. Kelas bumil ditujukan untuk semua kalangan tanpa memandang usia, serta taraf ekonomi. “Stigma seperti ini yang harus saya patahkan agar masyarakat sadar dan mau ikut kelas bumil,” katanya. Tugas Aci tidak berhenti ketika ibu hamil sudah mengikuti kelas bumil. Pendampingan tetap dia lakukan pasca persalinan atau setelah melahirkan. Dari pendampingan yang dia lakukan, diketahui bahwa ibu tersebut melahirkan bayi dengan kondisi BBLR (berat bayi lahir rendah). Setelah ditelusuri, faktor ekonomi menjadi salah satu pemicunya. Kondisi ekonomi yang pas-pasan membuat ibu tersebut tidak bisa leluasa memilih makanan apa yang seharusnya dikonsumsi ibu hamil. Ditambah lagi, pengetahuan terhadap gizi memang terbilang rendah. Aci lalu melaporkan kasus BBLR ini ke pihak desa. Sejumlah bantuan makanan tambahan dan susu pun diberikan kepada ibu tersebut. Hasilnya, perlahan namun pasti, kondisi si anak berangsur membaik. Bahkan, saat ini menjadi baduta yang sehat, dengan grafik KMS di garis hijau atau masuk dalam kategori normal. Rona bahagia terpancar dari wajah Aci ketika menceritakan kondisi warga yang didampinginya sehat. Ibu tiga anak ini mengaku tidak memiliki trik khusus selama melaksanakan pendampingan. Dia hanya melakukan tugasnya sesuai prosedur. Namun, ketika melakukan pendampingan, Aci memposisikan dirinya bukan sebagai petugas TPK, melainkan teman curhat. Ketika berkunjung ia tidak langsung menodongkan sejumlah pertanyaan pada sasaran. “Caraku memberi motivasi awalnya ya kuajak cerita-cerita, lama-lama malah jadi tempat curhat,” kata wanita kelahiran Malang ini. Setelah si sasaran merasa nyaman, baru kemudian Aci memberikan informasi kesehatan sesuai dengan kebutuhan sasaran. Sesungguhnya menjadi seorang kader bukanlah cita-cita Aci. Tapi seiring berjalannya waktu, lama-lama ia jatuh cinta dengan perannya sebagai kader di Desa Tajinan. Menjadi kader ternyata adalah panggilan hati. Hal ini sampai terbawa ketika ia sedang di luar tugasnya sebagai kader. Ketika menjumpai kawan, tetangga atau saudaranya yang mengalami problem soal kesehatan reproduksi atau permasalahan kontrasepsi, Aci otomatis langsung membantu. “Rasanya kita punya magnet. Aduh aku ingin bantuin orang ini. Otomatis ingin membantu sesama,” pungkasnya. Aci mengaku enjoy menjalani hari-harinya sebagai kader TPK. Meski tugasnya tidak selalu mulus, tapi ketika dia bisa membuat orang lain menjadi lebih baik itu adalah pencapaian tersendiri. Oleh Vizcardine Audinovic, Penyuluh KB Kabupaten Malang